Rabu, 14 September 2011

Harian Pelita


Menyorot Korupsi Kepala Daerah
Oleh : M. Nafiul Haris
Membicarakan  korupsi yang terjadi negeri ini tidak akan pernah ada habisnya. Namun  ada yang lebih menarik melampaui perilaku korup yang dilakukan para wakil rakyat dari desa sampai pusat yakni publik seakan diam dan tak sadarkan diri bahwa dirinya hidup dalam lilitan gurita yang bernama korupsi. Korupsi sekarang ini, mempunyai daya tarik tersendiri untuk menggait mangasanya, itu terbukti betapa banyak kepala daerah yang terjerat hukum, betapa banyak dana yang dikorup, sampai pada dampak kerusakan yang ditimbulkan.
Secara kuantitas, kepala daerah yang terjerat kasus korupsi cukup mencengangkan. Bagaimana tidak? Sejak tahun 2000-2011 di Jawa Tengah ada 20 mantan kepala daerah terjerat kasus korupsi. Ada tiga kepala daerah aktif menjadi tersangka serta seorang kepala daerah aktif, dua mantan wakil  kepala daerah, dan seorang mantan gubernur sedang diproses di pengadilan.
Kerugian negara ditaksir Rp 240 miliar. Itu baru kasus yang terungkap. Jadi mungkin lebih banyak lagi apabila yang belum terungkap bisa terungkap di kemudian hari. Mungkin korupsi menyimpan tali kenikmatan tersendiri bagi para koruptor atau bahkan mereka merasa tertantang jika belum melakukan hal hina tersebut. Sehingga muncul slogan “barang siapa yang korup dialah yang sukses dalam kepemimpinanya”, mungkin itulah yang tren dilingkungan para pejabat saat ini. Sehingga mereka tanpa rasa malu dan memikirkan akibat yang didapatnya jika ketahuan korupsi akan terancam karirnya dan sebagainya, tapi justru seakan-akan mereka berlomba untuk menjadi koruptor terbaik dinegeri ini. Ironis memang namun itulah kenyataanya.
Ironisnya lagi, semua kasus korupsi yang dilakukan para kepala daerah itu terjadi ketika mereka masih aktif sebagai kepala daerah. Dari 20 orang tersebut, 13 orang sudah disidangkan, termasuk dua mantan kepala daerah yang divonis bebas di tingkat pengadilan negeri, yakni mantan Bupati Demak Endang Setyaningdyah dan mantan Wakil Bupati Karanganyar Sri Sadoyo. Adapun tiga mantan kepala daerah sudah meninggal, sembilan belum disidangkan, dan dua kasusnya di-SP3-kan.
Melihat betapa banyak kepala daerah aktif dan mantan kepala daerah terlibat korupsi, muncul pertanyaan apakah jumlah itu sekadar gambaran yang ketahuan atau ketiban sial atau sisanya benar-benar bersih dari korupsi? Jika jawabnya adalah yang terjerat tersebut hanya faktor kebetulan atau sial, sesungguhnya lebih dari data yang ada adalah sangat mungkin berperilaku korup.
Banyaknya kepala daerah dan mantan kepala daerah terjerat kasus korupsi mengingatkan pada semua kepala daerah agar berhati-hati menjalankan pemerintahan. Sebab, tidak ada jaminan habis masa jabatan berarti habis pula permasalahan. Bahkan bisa sebaliknya, habis masa jabatan baru muncul masalah.
Namun yang lebih menarik lagi, menurut catatan investigasi dan pemantauan Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN), ternyata perilaku korup itu dikerjakan secara istikamah (kontinu)  dari waktu ke waktu, baik dari sistem pemilihan kepala daerah lewat DPRD maupun dipilih langsung oleh rakyat. Tidak ada rasa takut dan jera di kalangan bupati dan wali kota untuk korupsi, walau banyak pendahulu mereka telah masuk penjara. Keinginan keras menghindari korupsi juga nihil.
Menurut pendapat para pengamat politik, para elite politik di pusat dan daerah cenderung korup karena biaya sistem pemilu yang diterapkan terlalu mahal. Namun dalam kenyataan, ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD yang dianggap berbiaya lebih murah, ternyata mereka juga cenderung korup. Tampaknya mahal dan murah biaya pemilu tidak terlalu signifikan untuk mengerem perilaku korup kepala daerah.
Berdasar fakta itu kita layak bertanya, apakah sistemnya yang jelek, orangnya yang jelek, atau kedua-duanya? Mengapa pula meski sudah banyak mantan kepala daerah dipenjara, para penggantinya tetap melanjutkan amal jelek yang diwariskan para pendahulu mereka? Apakah memang  jika seseorang sudah menduduki jabatan nomor satu dalam pemerintahan di daerah mesti masuk perangkap korupsi dan sulit melepaskan diri? Apakah barangkali mereka memang sengaja menjeratkan diri dalam korupsi? Atau, barangkali  salah satu cita-cita dari para kepala daerah adalah menumpuk kekayaan lewat jabatan secara cepat?
Kegagalan Reformasi
Salah satu cita-cita reformasi adalah menciptakan birokrasi dan sistem pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Cita-cita itu sudah berjalan hampir 13 tahun sejak reformasi bergulir. Namun bila dievaluasi, tampaknya cita-cita reformasi birokrasi dan penciptaan pemerintahan yang bersih dari KKN mengalami kegagalan. Terbukti, banyak kepala daerah terlibat kasus korupsi.
Reformasi yang semestinya bisa menekan kecenderungan korupsi yang pernah dilakukan pemerintahan Orde Baru  ternyata bukan mengurangi, justru menumbuhsuburkan dan menyebarluaskan korupsi. Jika dulu para  bupati, apalagi camat, sulit korupsi, kini sampai kepala desa pun banyak yang dipenjara karena korupsi. Jadi reformasi ini telah berhasil memeratakan korupsi di semua level yang memiliki wewenang.
Bila dikaji lebih jauh, program pemberantasan korupsi, terutama di bidang reformasi birokrasi dan penciptaan pemerintahan yang bersih, lebih merupakan kampanye pencitraan politik daripada benar-benar ingin direalisasikan. Itu bisa kita lihat dari fakta kepala daerah yang terlibat korupsi. Mulai dari kepala daerah yang tidak memiliki prestasi memajukan daerah sampai yang berprestasi gemilang pun terseret kasus korupsi. Contoh yang terakhir bisa kita ambil kasus Kabupaten Sragen. Untung Wiyono selama menjabat dikenal sebagai bupati yang sangat sukses melakukan program pelayanan satu atap. Intinya, pelayanan satu atap adalah program meminimalisasi korupsi.  Keberhasilannya dicontoh di banyak daerah dan dia mendapat penghargaan secara nasional. Namun toh akhirnya dia terjerat juga kasus korupsi setelah masa jabatannya berakhir.
Banyaknya kepala daerah terlibat korupsi antara lain karena terlalu banyak wewenang yang mereka miliki. Itu bisa dibuktikan dengan lebih banyaknya kepala daerah yang terlibat korupsi ketimbang wakil kepala daerah.  Selama 10 tahun  (2000-2011) hanya ada dua wakil kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Sedikitnya wakil kepala daerah terlibat korupsi karena memang mereka tak memiliki wewenang. Kasarnya, tanda tangan mereka saja tidak laku. Bahkan wewenang mereka kalah jauh dari sekretaris daerah (sekda)  di bidang keuangan.
Fakta itu sesuai dengan rumus korupsi, yakni korupsi dirumuskan dengan C = M+D-A. Corruption (C) sama dengan monopoly power (M) plus discretion by official (D) (wewenang pejabat) minus accountability (akuntabilitas). Jika seseorang memiliki wewenang penuh dan bisa memutuskan apa saja tanpa harus melibatkan banyak orang tentu sangat terbuka peluang untuk menyeleweng. Dan, itulah yang terjadi selama 10 tahun reformasi ini (SM/14/07).
Dimuat Harian Pelita,11 Agustus  2011

Ruang Putih Jawa Pos


Dongeng, dari Mermaid ke Malin Kundang
                                            Oleh: M. Nafiul Haris                                  
Dongeng sepertinya kini sudah menjadi cerita kusam yang dianggap sebagian orang kuna, jadul, dan layak dikubur dalam-dalam. Sejak bangun hingga tidur lagi, anak-anak dihadapkan pada televisi yang menyajikan beragam acara, mulai dari film kartun, kuis hingga sinetron yang acapkali bukan tontonan yang pas untuk anak. Kalaupun mereka bosan dengan acara yang disajikan, mereka dapat pindah pada permainan lain seperti video game.
Kegiatan mendongeng di mata anak-anak sudah tidak populer lagi seperti dulu, saat dongeng dianggap kisah nyata yang benar-benar terjadi pada suatu bangsa. Di antaranya adalah kisah Assyria yang diklaim menjadi dasar dongeng di seluruh dunia, yakni munculnya Mermaid (putri duyung). 
Ahli kisah rakyat, S. Baring Gould dalam bukunya, Curious Myths Of  The Middle Ages, menjelaskan bahwa kisah Mermaid dan Merman (Ikan duyung jantan) merupakan kisah dewa atau dewi setengah ikan di agama- agama purba. Adanya kisah tersebut pun dijadikan teladan bagi penganut agama purba kala itu.
Contoh lain, Dewa Oannes dari Khaldea dan Dewa Dagon dari Fillistin memiliki rupa seperti Mermaid. Dewa Coxcox dan Teocipatli dari Meksiko juga memiliki rupa setengah ikan. Dari semuanya itu, mungkin yang paling terkenal adalah Dewa Triton dan Dewi Siren dalam legenda Yunani kuno, yang juga memiliki rupa setengah ikan.
Di Indonesia sendiri juga terdapat cerita rakyat yang tak kalah penting untuk didongengkan pada anak karena di dalamnya tersimpan pesan moral dan teladan yang baik. Malin Kundang, Timun Emas, Kejadian Danau Toba adalah dan sebagainya.

Menjadi Cerdas

Keluarga berperan penting demi tercapai budaya literasi sejak dini pada anak. Bahkan seumur hidup dan kecintaan terhadap budaya lokal. Para pakar menyatakan ada beberapa manfaat lain yang dapat digali dari kegiatan mendongeng.
Pertama, anak dapat mengasah daya pikir dan imajinasi serta membentuk visualisasi dari dongeng yang didengarnya. Ia dapat membayangkan seperti apa tokoh-tokoh maupun situasi yang muncul dari dongeng tersebut. Hal yang belum tentu dapat terpenuhi bila anak hanya menonton televisi. Lama-kelamaan anak dapat melatih kreativitas dengan cara ini.
Kedua, manfaat cerita atau dongeng juga merupakan media yang efektif untuk menanamkan berbagai nilai bahkan empati dan etika pada anak tanpa harus menggurui. Misalnya nilai-nilai kejujuran, rendah hati, kesetiakawanan, kerja keras, maupun tentang berbagai kebiasaan sehari-hari seperti pentingnya makan sayur dan menggosok gigi.
Ketiga, dongeng dapat menjadi langkah awal untuk menumbuhkan minat baca anak. Setelah tertarik pada pelbagai dongeng yang diceritakan, anak diharapkan mulai menumbuhkan ketertarikannya pada buku. Diawali dengan buku-buku dongeng yang kerap didengarnya, kemudian meluas pada buku-buku lain seperti pengetahuan,sains,agama, dan sebagainya.
Ahli psikologi menyarankan agar orangtua membiasakan mendongeng untuk mengurangi pengaruh buruk alat permainan modern. Hal itu dipentingkan mengingat interaksi langsung antara anak balita dengan orangtuanya dengan mendongeng sangat berpengaruh dalam membentuk karakter anak menjelang dewasa.       
            Selain itu, dari berbagai cara untuk mendidik anak, dongeng merupakan cara yang tak kalah ampuh dan efektif untuk memberikan human touch (sentuhan manusiawi) dan sportifitas bagi anak. Melalui dongeng pula jelajah cakrawala pemikiran anak akan menjadi lebih baik, lebih kritis, dan cerdas.
Anak juga bisa memahami hal mana yang perlu ditiru dan yang tidak boleh ditiru. Hal ini akan membantu mereka dalam mengidentifikasikan diri dengan lingkungan sekitar di samping memudahkan mereka menilai dan memposisikan diri di tengah-tengah orang lain. Sebaliknya, anak yang kurang imajinasi bisa berakibat pada pergaulan yang kurang, sulit bersosialisasi atau beradaptasi dengan lingkungan yang baru.

Hati-hati

            Namun terlepas dari setumpuk teori manfaat tersebut, rasanya kita tetap harus berhati-hati. Cukup banyak dongeng yang mengandung kisah yang justru rawan menjadi teladan buruk bagi anak-anak. Sebut saja dongeng rakyat tentang Sangkuriang yang secara eksplisit mengisahkan bahwa ibu kandung Sangkuriang gara-gara bersumpah akan menjadi istri pihak yang mengambil peralatan tenun yang jatuh dan menikah dengan seekor anjing.
            Tak cukup itu kondisi diperparah oleh kisah bahwa setelah membunuh sang anjing yang notabene adalah ayah kandungnya sendiri, Sangkuriang sempat jatuh cinta dalam makna asmara kepada Dayang Sumbi, ibunya. Belum terhitung kelicikan Dayang Sumbi membangunkan ayam jago agar berkokok sebelum saat fajar benar-benar tiba, demi mengecoh Sangkuriang agar menduga dirinya gagal memenuhi permintaan Dayang Sumbi, yakni merampungkan pembuatan perahu dalam satu malam saja.
            Karena muatan-muatan pada cerita dongeng harus dipertimbangkan dengan kondisi psikologi yang mungkin diserap oleh sang anak, jangan sampai terjadi kesalahan pemahaman dari dongeng yang dimaksudkan positif malah menjadi negatif.
(Di muat Harian Jawa Pos, Ruang Putih Agustus 2011)

Kamis, 21 Juli 2011

Resensi PERADA

Pluralisme Menyelamatkan Agama dan Bangsa

Judul : Pluralisme Menyelamatkan Agama-agama

Penulis : Moh. Shofan

Penerbit : Samudra Biru, Yogyakarta

Tahun : 1, Januari 2011

Tebal : xxxii+161 halaman

Harga : Rp. 45000

Di tengah perpecahan umat beragama dan maraknya kekerasan bermotif agama, buku Pluralisme Menyelamatkan Agama-agama hadir untuk meneguhkan kembali semangat pluralisme, toleransi, kerukunan, demokrasi, gotong royong dan HAM.

Teror atas nama agama yang seringkali dilakukan oleh umat Islam di Indonesia sekarang ini adalah cermin kuat ideologi fundamentalisme Islam dengan pendekatan literalis, formalis, absolutis dan anti-pluralis. Sebagian lagi didasarkan pada pandangan yang apokaliptik (agama bergabung dengan rasialisme), mengenai misi politik agama.

Pembakaran tempat ibadah, penusukan terhadap pemuka agama lain, pengusiran jamaah Ahmadiyah, pelarangan beribadah, penangkapan, dan tindak kekerasan lainnya terhadap pemeluk agama lain yang dianggap sesat dan menyimpang, merupakan contoh betapa cara pandang totalitarian (anti demokrasi) dalam paham beragama kita yang masih rendah.

“Tragedi” itu menjadi ancaman terhadap penegakan konstitusi dan toleransi antar umat beragama. Lebih ironis lagi, negara seakan diam dan tak berdaya di tengah merebaknya fenomena kekerasan atas nama agama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengharamkan sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Secara tidak langsung, fatwa tersebut berimbas pada semakin kuatnya legitimasi kekerasan atas nama agama.

Dalam buku ini, Moh Shofan mencoba memaparkan makna asli yang terkandung dalam pluralisme. Ia menyuguhkan tulisannya tidak hanya bagi umat Islam di Indonesia, tetapi ditujukan juga pada pemeluk agama lain. Dia menegaskan bahwa “pluralisme bukanlah ajaran yang eksklusif bagi umat Islam saja, tapi juga perlu diterima agama-agama lain demi kesinambungan pewartaan wahyu Tuhan” (hal;25).

Sebagai seorang muslim yang pernah lama belajar di pesantren, Shofan mengerti bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan perdamaian dan anti kekerasan. Namun, dalam realitasnya, baik realitas masa lalu maupun kini, perkembangan Islam diwarnai dengan aksi-aksi kekerasan berdalih “amar ma’ruf nahi munkar” yang seolah dilegitimasi kitab suci. Ini menjadi pertanyaan penting bagi para ilmuwan sosial Indonesia yang berkutat pada dunia akademisi riset ataupun organisasi masyarakat khususnya dibidang pluralisme.

Norma-norma moral menuntut adanya suatu diskursus praktis yang harus dilaksanakan di tataran riil. Relasi saling percaya yang belum terbentuk di masyarakat sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama bagi proses diskursus praktis untuk menciptakan kesalingpahaman. Hal inilah yang diungkapkan oleh Shofan di buku ini.

Dalam pandangan Shofan, setiap tradisi keagamaan selalu terkandung benih-benih ideologi atau teologi yang bersifat isolasionis (tiap agama hidup dan berkembang dalam “ghetto-nya” sendiri-sendiri), konfrontasionis (yang lain dan yang berbeda adalah pesaing yang perlu dicurigai), dan bahkan kebencian (yang lain dan yang berbeda adalah musuh yang harus ditaklukkan) (hal;33 ).

Jika hal di atas tidak segera diatasi, maka bukan tidak mungkin apa yang dikhawatirkan selama ini akan muncul, yakni fanatisme akibat ketidakpercayaan diri menghadapi perbedaan pemikiran, ekspresi kehidupan, kemudian menetapkan segala hal ihwal yang suci dianggap steril, tak pernah terkontaminasi, dan diyakini bersifat murni. Fanatisme ini pada akhirnya akan merendahkan kemuliaan manusia sebagai hamba Tuhan, berupa pencapaian kebenaran dan martabat manusia.

Untuk mengatasi semua itu Shofan menawarkan bahwa menegakkan pluralisme adalah jalan satu-satunya. Namun, jika melihat realitas sekarang, semua itu tak mudah ketika arus konservatisme semakin deras. Pada titik ini, peran pluralisme sangat menentukan. Pandangan normatif terhadap pluralisme tidak boleh dibiarkan berhenti pada lembaran-lembaran teks tetapi perlu dipahami dengan kerangka metodologis dalam menafsirkan dan mentranformasikannya (hal;87 ).

Buku ini adalah bagian dari tradisi intelektual yang harus dijaga. Dibaca guna mengembangkan sikap penuh toleransi dan apresiatif terhadap kelompok-kelompok agama lain untuk menciptakan masyarakat yang damai, sebagaimana hal itu diajarkan dalam Islam.

Guru-guru agama di sekolah yang berperan sebagai ujung tombak pendidikan agama dari tingkat paling bawah hingga yang paling tinggi, nyaris kurang tersentuh oleh gelombang pergumulan pemikiran dan diskursus keagamaan seputar isu pluralisme dan dialog antar-umat beragama.

Kehadiran buku ini adalah hasil ikhtiar pemikiran cerdas dari penulisnya untuk tidak sekadar menyoal pluralisme yang masih terkesan lamban dalam implementasinya, tetapi juga untuk membangun sistem kehidupan yang damai, berkeadilan, berkesetaraan, dan memelihara anugerah kebebasan. Semua ini memerlukan seperangkat rumusan yang tepat agar kita tidak terjebak pada pemahaman agama dalam pengertian yang patrikultural. Pluralisme adalah jalan terbaik untuk hubungan antar dan intra-agama.

Peresensi : M. Nafiul Haris,

Peneliti el- Wahid Center Universitas Wahid Hasyim Semarang

Alamat : JL. Menoreh Tengah X/22 Sampangan Semarang

(Di muat koran jakarta senin, 11 juli 2011)