Dongeng,
dari Mermaid ke Malin Kundang
Oleh:
M. Nafiul Haris
Dongeng
sepertinya kini sudah menjadi cerita kusam yang dianggap sebagian orang kuna, jadul, dan layak dikubur dalam-dalam. Sejak bangun hingga tidur lagi, anak-anak dihadapkan pada
televisi yang menyajikan beragam acara, mulai dari film kartun, kuis hingga
sinetron yang acapkali bukan tontonan yang pas untuk anak. Kalaupun mereka
bosan dengan acara yang disajikan, mereka dapat pindah pada permainan lain
seperti video game.
Kegiatan mendongeng di mata anak-anak sudah tidak populer lagi
seperti dulu, saat dongeng
dianggap kisah nyata yang benar-benar terjadi pada suatu bangsa. Di antaranya adalah kisah Assyria yang
diklaim menjadi dasar dongeng di seluruh dunia, yakni munculnya Mermaid (putri duyung).
Ahli kisah rakyat, S. Baring Gould dalam bukunya, Curious
Myths Of The Middle Ages, menjelaskan
bahwa kisah Mermaid dan Merman (Ikan duyung jantan) merupakan kisah dewa atau
dewi setengah ikan di agama- agama purba. Adanya
kisah tersebut pun dijadikan teladan bagi penganut agama purba kala itu.
Contoh lain, Dewa Oannes dari Khaldea dan Dewa Dagon dari Fillistin
memiliki rupa seperti Mermaid. Dewa Coxcox dan Teocipatli dari Meksiko juga
memiliki rupa setengah ikan. Dari semuanya itu, mungkin yang paling terkenal
adalah Dewa Triton dan Dewi Siren
dalam legenda Yunani kuno, yang juga memiliki rupa setengah ikan.
Di Indonesia sendiri
juga terdapat cerita rakyat yang tak kalah penting untuk didongengkan pada anak
karena di dalamnya
tersimpan pesan moral
dan teladan yang baik. Malin
Kundang, Timun Emas, Kejadian
Danau Toba adalah dan sebagainya.
Menjadi
Cerdas
Keluarga
berperan penting demi tercapai budaya literasi sejak dini pada anak. Bahkan seumur hidup dan kecintaan
terhadap budaya lokal. Para pakar menyatakan ada beberapa manfaat lain yang
dapat digali dari kegiatan mendongeng.
Pertama, anak dapat
mengasah daya pikir dan imajinasi serta membentuk visualisasi dari dongeng yang
didengarnya. Ia dapat membayangkan seperti apa tokoh-tokoh maupun situasi yang
muncul dari dongeng tersebut. Hal yang belum tentu dapat terpenuhi bila anak
hanya menonton televisi. Lama-kelamaan anak dapat melatih kreativitas dengan
cara ini.
Kedua, manfaat cerita
atau dongeng juga merupakan media yang efektif untuk menanamkan berbagai nilai
bahkan empati dan etika pada anak tanpa harus menggurui. Misalnya nilai-nilai kejujuran, rendah
hati, kesetiakawanan, kerja keras, maupun tentang berbagai kebiasaan
sehari-hari seperti pentingnya makan sayur dan menggosok gigi.
Ketiga, dongeng dapat
menjadi langkah awal untuk menumbuhkan minat baca anak. Setelah tertarik pada
pelbagai dongeng yang diceritakan, anak diharapkan mulai menumbuhkan
ketertarikannya pada buku. Diawali dengan buku-buku dongeng yang kerap
didengarnya, kemudian meluas pada buku-buku lain seperti
pengetahuan,sains,agama, dan sebagainya.
Ahli psikologi menyarankan agar orangtua membiasakan mendongeng
untuk mengurangi pengaruh buruk alat permainan modern. Hal itu dipentingkan
mengingat interaksi langsung antara anak balita dengan orangtuanya dengan
mendongeng sangat berpengaruh dalam membentuk karakter anak menjelang dewasa.
Selain itu, dari
berbagai cara untuk mendidik anak, dongeng merupakan cara yang tak kalah ampuh
dan efektif untuk memberikan human touch
(sentuhan manusiawi) dan sportifitas bagi anak. Melalui
dongeng pula jelajah cakrawala pemikiran anak akan menjadi lebih baik, lebih
kritis, dan cerdas.
Anak juga bisa memahami
hal mana yang perlu ditiru dan yang tidak boleh ditiru. Hal ini akan membantu
mereka dalam mengidentifikasikan diri dengan lingkungan sekitar di samping memudahkan mereka menilai dan
memposisikan diri di tengah-tengah orang lain. Sebaliknya, anak yang kurang
imajinasi bisa
berakibat pada pergaulan yang kurang, sulit
bersosialisasi atau beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
Hati-hati
Namun terlepas dari
setumpuk teori manfaat tersebut, rasanya kita tetap harus berhati-hati. Cukup banyak dongeng yang mengandung kisah yang justru rawan
menjadi teladan buruk bagi anak-anak. Sebut saja dongeng rakyat tentang
Sangkuriang yang secara eksplisit mengisahkan bahwa ibu kandung Sangkuriang
gara-gara bersumpah akan menjadi istri pihak yang mengambil peralatan tenun
yang jatuh dan menikah
dengan seekor anjing.
Tak cukup itu kondisi
diperparah oleh kisah bahwa setelah membunuh sang anjing yang notabene adalah
ayah kandungnya sendiri,
Sangkuriang sempat jatuh cinta dalam makna asmara kepada Dayang Sumbi, ibunya. Belum terhitung kelicikan Dayang Sumbi
membangunkan ayam jago agar berkokok sebelum saat fajar benar-benar tiba, demi
mengecoh Sangkuriang agar menduga dirinya gagal memenuhi permintaan Dayang
Sumbi, yakni
merampungkan pembuatan perahu dalam satu malam saja.
Karena muatan-muatan
pada cerita dongeng harus dipertimbangkan dengan kondisi psikologi yang mungkin
diserap oleh sang
anak, jangan sampai terjadi kesalahan pemahaman dari dongeng yang dimaksudkan
positif malah menjadi negatif.
(Di
muat Harian Jawa Pos, Ruang Putih Agustus 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar