Rabu, 14 September 2011

Ruang Putih Jawa Pos


Dongeng, dari Mermaid ke Malin Kundang
                                            Oleh: M. Nafiul Haris                                  
Dongeng sepertinya kini sudah menjadi cerita kusam yang dianggap sebagian orang kuna, jadul, dan layak dikubur dalam-dalam. Sejak bangun hingga tidur lagi, anak-anak dihadapkan pada televisi yang menyajikan beragam acara, mulai dari film kartun, kuis hingga sinetron yang acapkali bukan tontonan yang pas untuk anak. Kalaupun mereka bosan dengan acara yang disajikan, mereka dapat pindah pada permainan lain seperti video game.
Kegiatan mendongeng di mata anak-anak sudah tidak populer lagi seperti dulu, saat dongeng dianggap kisah nyata yang benar-benar terjadi pada suatu bangsa. Di antaranya adalah kisah Assyria yang diklaim menjadi dasar dongeng di seluruh dunia, yakni munculnya Mermaid (putri duyung). 
Ahli kisah rakyat, S. Baring Gould dalam bukunya, Curious Myths Of  The Middle Ages, menjelaskan bahwa kisah Mermaid dan Merman (Ikan duyung jantan) merupakan kisah dewa atau dewi setengah ikan di agama- agama purba. Adanya kisah tersebut pun dijadikan teladan bagi penganut agama purba kala itu.
Contoh lain, Dewa Oannes dari Khaldea dan Dewa Dagon dari Fillistin memiliki rupa seperti Mermaid. Dewa Coxcox dan Teocipatli dari Meksiko juga memiliki rupa setengah ikan. Dari semuanya itu, mungkin yang paling terkenal adalah Dewa Triton dan Dewi Siren dalam legenda Yunani kuno, yang juga memiliki rupa setengah ikan.
Di Indonesia sendiri juga terdapat cerita rakyat yang tak kalah penting untuk didongengkan pada anak karena di dalamnya tersimpan pesan moral dan teladan yang baik. Malin Kundang, Timun Emas, Kejadian Danau Toba adalah dan sebagainya.

Menjadi Cerdas

Keluarga berperan penting demi tercapai budaya literasi sejak dini pada anak. Bahkan seumur hidup dan kecintaan terhadap budaya lokal. Para pakar menyatakan ada beberapa manfaat lain yang dapat digali dari kegiatan mendongeng.
Pertama, anak dapat mengasah daya pikir dan imajinasi serta membentuk visualisasi dari dongeng yang didengarnya. Ia dapat membayangkan seperti apa tokoh-tokoh maupun situasi yang muncul dari dongeng tersebut. Hal yang belum tentu dapat terpenuhi bila anak hanya menonton televisi. Lama-kelamaan anak dapat melatih kreativitas dengan cara ini.
Kedua, manfaat cerita atau dongeng juga merupakan media yang efektif untuk menanamkan berbagai nilai bahkan empati dan etika pada anak tanpa harus menggurui. Misalnya nilai-nilai kejujuran, rendah hati, kesetiakawanan, kerja keras, maupun tentang berbagai kebiasaan sehari-hari seperti pentingnya makan sayur dan menggosok gigi.
Ketiga, dongeng dapat menjadi langkah awal untuk menumbuhkan minat baca anak. Setelah tertarik pada pelbagai dongeng yang diceritakan, anak diharapkan mulai menumbuhkan ketertarikannya pada buku. Diawali dengan buku-buku dongeng yang kerap didengarnya, kemudian meluas pada buku-buku lain seperti pengetahuan,sains,agama, dan sebagainya.
Ahli psikologi menyarankan agar orangtua membiasakan mendongeng untuk mengurangi pengaruh buruk alat permainan modern. Hal itu dipentingkan mengingat interaksi langsung antara anak balita dengan orangtuanya dengan mendongeng sangat berpengaruh dalam membentuk karakter anak menjelang dewasa.       
            Selain itu, dari berbagai cara untuk mendidik anak, dongeng merupakan cara yang tak kalah ampuh dan efektif untuk memberikan human touch (sentuhan manusiawi) dan sportifitas bagi anak. Melalui dongeng pula jelajah cakrawala pemikiran anak akan menjadi lebih baik, lebih kritis, dan cerdas.
Anak juga bisa memahami hal mana yang perlu ditiru dan yang tidak boleh ditiru. Hal ini akan membantu mereka dalam mengidentifikasikan diri dengan lingkungan sekitar di samping memudahkan mereka menilai dan memposisikan diri di tengah-tengah orang lain. Sebaliknya, anak yang kurang imajinasi bisa berakibat pada pergaulan yang kurang, sulit bersosialisasi atau beradaptasi dengan lingkungan yang baru.

Hati-hati

            Namun terlepas dari setumpuk teori manfaat tersebut, rasanya kita tetap harus berhati-hati. Cukup banyak dongeng yang mengandung kisah yang justru rawan menjadi teladan buruk bagi anak-anak. Sebut saja dongeng rakyat tentang Sangkuriang yang secara eksplisit mengisahkan bahwa ibu kandung Sangkuriang gara-gara bersumpah akan menjadi istri pihak yang mengambil peralatan tenun yang jatuh dan menikah dengan seekor anjing.
            Tak cukup itu kondisi diperparah oleh kisah bahwa setelah membunuh sang anjing yang notabene adalah ayah kandungnya sendiri, Sangkuriang sempat jatuh cinta dalam makna asmara kepada Dayang Sumbi, ibunya. Belum terhitung kelicikan Dayang Sumbi membangunkan ayam jago agar berkokok sebelum saat fajar benar-benar tiba, demi mengecoh Sangkuriang agar menduga dirinya gagal memenuhi permintaan Dayang Sumbi, yakni merampungkan pembuatan perahu dalam satu malam saja.
            Karena muatan-muatan pada cerita dongeng harus dipertimbangkan dengan kondisi psikologi yang mungkin diserap oleh sang anak, jangan sampai terjadi kesalahan pemahaman dari dongeng yang dimaksudkan positif malah menjadi negatif.
(Di muat Harian Jawa Pos, Ruang Putih Agustus 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar