Menyorot Korupsi Kepala Daerah
Oleh : M. Nafiul Haris
Membicarakan korupsi yang
terjadi negeri ini tidak akan pernah ada habisnya. Namun ada yang lebih menarik melampaui perilaku korup
yang dilakukan para wakil rakyat dari desa sampai pusat yakni publik seakan
diam dan tak sadarkan diri bahwa dirinya hidup dalam lilitan gurita yang
bernama korupsi. Korupsi sekarang ini, mempunyai daya tarik tersendiri untuk
menggait mangasanya, itu terbukti betapa banyak kepala daerah yang terjerat
hukum, betapa banyak dana yang dikorup, sampai pada dampak kerusakan yang
ditimbulkan.
Secara kuantitas, kepala
daerah yang terjerat kasus korupsi cukup mencengangkan. Bagaimana tidak? Sejak
tahun 2000-2011 di Jawa Tengah ada 20 mantan kepala daerah terjerat kasus
korupsi. Ada tiga kepala daerah aktif menjadi tersangka serta seorang kepala
daerah aktif, dua mantan wakil kepala daerah, dan seorang mantan gubernur
sedang diproses di pengadilan.
Kerugian negara ditaksir Rp
240 miliar. Itu baru kasus yang terungkap. Jadi mungkin lebih banyak lagi
apabila yang belum terungkap bisa terungkap di kemudian hari. Mungkin korupsi
menyimpan tali kenikmatan tersendiri bagi para koruptor atau bahkan mereka
merasa tertantang jika belum melakukan hal hina tersebut. Sehingga muncul
slogan “barang siapa yang korup dialah yang sukses dalam kepemimpinanya”,
mungkin itulah yang tren dilingkungan para pejabat saat ini. Sehingga mereka
tanpa rasa malu dan memikirkan akibat yang didapatnya jika ketahuan korupsi
akan terancam karirnya dan sebagainya, tapi justru seakan-akan mereka berlomba untuk
menjadi koruptor terbaik dinegeri ini. Ironis memang namun itulah kenyataanya.
Ironisnya lagi, semua kasus
korupsi yang dilakukan para kepala daerah itu terjadi ketika mereka masih aktif
sebagai kepala daerah. Dari 20 orang tersebut, 13 orang sudah disidangkan,
termasuk dua mantan kepala daerah yang divonis bebas di tingkat pengadilan
negeri, yakni mantan Bupati Demak Endang Setyaningdyah dan mantan Wakil Bupati
Karanganyar Sri Sadoyo. Adapun tiga mantan kepala daerah sudah meninggal,
sembilan belum disidangkan, dan dua kasusnya di-SP3-kan.
Melihat betapa banyak kepala
daerah aktif dan mantan kepala daerah terlibat korupsi, muncul pertanyaan
apakah jumlah itu sekadar gambaran yang ketahuan atau ketiban sial atau sisanya
benar-benar bersih dari korupsi? Jika jawabnya adalah yang terjerat tersebut
hanya faktor kebetulan atau sial, sesungguhnya lebih dari data yang ada adalah
sangat mungkin berperilaku korup.
Banyaknya kepala daerah dan
mantan kepala daerah terjerat kasus korupsi mengingatkan pada semua kepala
daerah agar berhati-hati menjalankan pemerintahan. Sebab, tidak ada jaminan
habis masa jabatan berarti habis pula permasalahan. Bahkan bisa sebaliknya,
habis masa jabatan baru muncul masalah.
Namun yang lebih menarik lagi,
menurut catatan investigasi dan pemantauan Komite Penyelidikan dan
Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN), ternyata perilaku korup
itu dikerjakan secara istikamah (kontinu) dari waktu ke waktu, baik dari
sistem pemilihan kepala daerah lewat DPRD maupun dipilih langsung oleh rakyat.
Tidak ada rasa takut dan jera di kalangan bupati dan wali kota untuk korupsi,
walau banyak pendahulu mereka telah masuk penjara. Keinginan keras menghindari
korupsi juga nihil.
Menurut pendapat para pengamat
politik, para elite politik di pusat dan daerah cenderung korup karena biaya
sistem pemilu yang diterapkan terlalu mahal. Namun dalam kenyataan, ketika
kepala daerah dipilih oleh DPRD yang dianggap berbiaya lebih murah, ternyata
mereka juga cenderung korup. Tampaknya mahal dan murah biaya pemilu tidak
terlalu signifikan untuk mengerem perilaku korup kepala daerah.
Berdasar fakta itu kita layak
bertanya, apakah sistemnya yang jelek, orangnya yang jelek, atau kedua-duanya?
Mengapa pula meski sudah banyak mantan kepala daerah dipenjara, para
penggantinya tetap melanjutkan amal jelek yang diwariskan para pendahulu
mereka? Apakah memang jika seseorang sudah menduduki jabatan nomor satu
dalam pemerintahan di daerah mesti masuk perangkap korupsi dan sulit melepaskan
diri? Apakah barangkali mereka memang sengaja menjeratkan diri dalam korupsi?
Atau, barangkali salah satu cita-cita dari para kepala daerah adalah
menumpuk kekayaan lewat jabatan secara cepat?
Kegagalan Reformasi
Salah satu cita-cita reformasi
adalah menciptakan birokrasi dan sistem pemerintahan yang bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN). Cita-cita itu sudah berjalan hampir 13 tahun sejak
reformasi bergulir. Namun bila dievaluasi, tampaknya cita-cita reformasi
birokrasi dan penciptaan pemerintahan yang bersih dari KKN mengalami kegagalan.
Terbukti, banyak kepala daerah terlibat kasus korupsi.
Reformasi yang semestinya bisa
menekan kecenderungan korupsi yang pernah dilakukan pemerintahan Orde
Baru ternyata bukan mengurangi, justru menumbuhsuburkan dan
menyebarluaskan korupsi. Jika dulu para bupati, apalagi camat, sulit
korupsi, kini sampai kepala desa pun banyak yang dipenjara karena korupsi. Jadi
reformasi ini telah berhasil memeratakan korupsi di semua level yang memiliki
wewenang.
Bila dikaji lebih jauh,
program pemberantasan korupsi, terutama di bidang reformasi birokrasi dan
penciptaan pemerintahan yang bersih, lebih merupakan kampanye pencitraan
politik daripada benar-benar ingin direalisasikan. Itu bisa kita lihat dari
fakta kepala daerah yang terlibat korupsi. Mulai dari kepala daerah yang tidak
memiliki prestasi memajukan daerah sampai yang berprestasi gemilang pun
terseret kasus korupsi. Contoh yang terakhir bisa kita ambil kasus Kabupaten
Sragen. Untung Wiyono selama menjabat dikenal sebagai bupati yang sangat sukses
melakukan program pelayanan satu atap. Intinya, pelayanan satu atap adalah
program meminimalisasi korupsi. Keberhasilannya dicontoh di banyak daerah
dan dia mendapat penghargaan secara nasional. Namun toh akhirnya dia terjerat
juga kasus korupsi setelah masa jabatannya berakhir.
Banyaknya kepala daerah
terlibat korupsi antara lain karena terlalu banyak wewenang yang mereka miliki.
Itu bisa dibuktikan dengan lebih banyaknya kepala daerah yang terlibat korupsi
ketimbang wakil kepala daerah. Selama 10 tahun (2000-2011) hanya
ada dua wakil kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Sedikitnya wakil
kepala daerah terlibat korupsi karena memang mereka tak memiliki wewenang.
Kasarnya, tanda tangan mereka saja tidak laku. Bahkan wewenang mereka kalah
jauh dari sekretaris daerah (sekda) di bidang keuangan.
Fakta itu sesuai dengan rumus
korupsi, yakni korupsi dirumuskan dengan C = M+D-A. Corruption (C) sama dengan
monopoly power (M) plus discretion by official (D) (wewenang pejabat) minus
accountability (akuntabilitas). Jika seseorang memiliki wewenang penuh dan bisa
memutuskan apa saja tanpa harus melibatkan banyak orang tentu sangat terbuka
peluang untuk menyeleweng. Dan, itulah yang terjadi selama 10 tahun reformasi
ini (SM/14/07).
Dimuat Harian Pelita,11 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar