Meneguhkan Kembali Pendidikan
Karakter
Oleh :
M. Nafiul Haris
Judul : Pendidikan Karakter
Membangun Delapan Karakter Emas Menuju
Indonesia Bermartabat
Penulis : Bagus
Mustakim
Penerbit : Samudra Biru, Yogjakarta
Tahun : 1, 2011
Tebal : xiv+ 120 halaman
ISBN : 978-602-98448-5-6
Akhir-akhir ini tema pendidikan
karakter banyak dibicarakan orang. Mulai dari pejabat di kementerian pendidikan (pusat dan daerah), pengamat pendidikan,
budayawan, sampai politisi.
Karakter merupakan salah satu
aspek kepribadian manusia yang diyakini dapat berubah, dari baik menjadi jelek
atau sebaliknya. Itulah sebabnya pembangunan karakter menjadi sesuatu yang
sangat penting bagi kehidupan manusia, dalam skala individu maupun bangsa.
Di dalam bahasa yang lebih
sederhana, karakter sama dengan watak, yaitu pengembangan dari jati diri
seseorang. Karena karakter lebih mencerminkan jati diri daripada aspek
kepribadian dari seorang manusia yang lainya seperti identitas, intelektual,
keterampilan, dan sebagainya.
Oleh sebab itulah pengembangan
karakter menjadi sesuatu yang sangat penting dan strategis karena seringkali
diidentikkan dengan budi pekerti atau akhlak. Dalam budaya Jawa misalnya,
nilai-nilai kehidupan masyarakat Jawa sangat pantas untuk dijadikan pedoman
pengembangan karakter seseorang.
Buku karya Bagus
Mustakim, hadir untuk
meneguhkan kembali pendidikan karakter yang selama ini melenceng dari
undang-undang. Padahal jika ditelaah lebih lanjut,dalam pendidikan semua itu mengamanatkan pembentukan karakter akan tetapi menampilkan
praktik yang berbeda.
Dalam pandangan Mustakim,
pendidikan selama ini lebih berorientasi pada kecakapan akademik dan vokasional
serta mengesampingkan pendidikan karakter bangsa. Meskipun dalam batas-batas
tertentu dapat ditemukan praktik pendidikan karakter, namun praktik itu
mengarah pada pendidikan yang bersifat simbolik dan formalistik, bahkan
cenderung politis (hlm; 41).
Di samping itu peyelenggaraan
pendidikan juga terjebak pada orientasi lain yang keluar dari tujuan pendidikan.
Penyelenggaraan pendidikan yang menurut undang-undang ditujukan untuk
mencerdaskan kehidupan rakyat bergeser ke arah praktik yang cenderung
kapitalistik. Pendidikan bergeser menjadi salah satu bagian dari elemen
kapitalisme yang memiskinkan rakyat (hlm; 54).
Jika hal di atas tidak segera
diatasi, maka bukan tidak mungkin apa yang dikhawatirkan bangsa ini akan muncul, yakni perilaku
anarkis, tawuran antar-warga,
penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, korupsi, kriminalitas, kerusakan
lingkungan dan berbagai tindakan patologi sosial lainnya yang menunjukkan
indikasi adanya masalah akut dalam bangunan karakter bangsa.
Apalagi penyelenggara
pendidikan di Indonesia lebih memilih paradigma
konservatif yang berfungsi melestarikan tradisi-tradisi modern yang
eksploitatif. Fenomena patologi sosial tersebut jelas bertentangan dengan visi
dan misi pendidikan dalam membentuk manusia Indonesia yang berkepribadian dan
berakhlak mulia sebagaimana dicita-citakan dalam tujuan pendidikan nasional.
Untuk mengatasi semua itu Mustakim menawarkan, meneguhkan pendidikan
karakter adalah solusi terbaik. Meskipun terlalu berlebihan karena pendidikan
karakter seakan-akan diposisikan sebagai dewa penyelamat. Banyak orang mulai
pakar sampai praktisi pendidikan, meyakini bahwa pendidikan karakter dapat
menjadi obat yang mujarab bagi persoalan-persoalan karakter kebangsaan (hlm;
108).
Dengan demikian yang diperlukan adalah revitalisasi pendidikan karakter
di sekolah. Sekolah harus menjadikan pendidikan karakter, yang sejatinya menjadi
misi sekolah, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam praktik pendidikan.
Karena pendidikan karakter bukanlah konsep baru dalam praktik pendidikan
nasional. Berbicara pendidikan karakter berarti mengembalikan sekolah pada
tugas pendidikanya sesuai undang-undang, yakni membangun karakter bangsa.
Dalam buku ini, Mustakim juga menjelaskan tentang konsep pendidikan
karakter yang dibangun secara komperenshif melalui kajian historis,
paradigmatis, sampai tingkat praktis. Dengan demikian, diharapkan para pembaca
dapat memahami konsep pendidikan karakter secara utuh sekaligus dapat
mengimplementasikannya pada wilayah praktis.
Karya ini lahir dari
kegelisahan penulisnya terhadap perkembangan wacana pendidikan karakter
belakangan ini. Pendidikan karakter seolah menjadi “agama baru” dalam
penyelenggaraan pendidikan nasional. Buku ini menarik dan penting untuk
dibaca oleh guru-guru di sekolah yang berperan sebagai ujung tombak pendidikan
dari tingkat paling bawah hingga yang paling tinggi.
( Dimuat Harian
Pelita, Sabtu 10 September 2011)
Peresensi adalah
M. Nafiul Haris, Peneliti el- Wahid Center Universitas Wahid Hasyim Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar