Kamis, 15 September 2011

Resensi Harian Pelita


Meneguhkan Kembali Pendidikan Karakter
Oleh : M. Nafiul Haris
Judul        : Pendidikan Karakter Membangun Delapan Karakter Emas Menuju  Indonesia Bermartabat
Penulis     : Bagus Mustakim
Penerbit   : Samudra Biru, Yogjakarta
Tahun      : 1, 2011
Tebal        : xiv+ 120 halaman
ISBN        : 978-602-98448-5-6


Akhir-akhir ini tema pendidikan karakter banyak dibicarakan orang. Mulai dari pejabat di kementerian pendidikan (pusat dan daerah), pengamat pendidikan, budayawan, sampai politisi.  
Karakter merupakan salah satu aspek kepribadian manusia yang diyakini dapat berubah, dari baik menjadi jelek atau sebaliknya. Itulah sebabnya pembangunan karakter menjadi sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia, dalam skala individu maupun bangsa.
Di dalam bahasa yang lebih sederhana, karakter sama dengan watak, yaitu pengembangan dari jati diri seseorang. Karena karakter lebih mencerminkan jati diri daripada aspek kepribadian dari seorang manusia yang lainya seperti identitas, intelektual, keterampilan, dan sebagainya.
Oleh sebab itulah pengembangan karakter menjadi sesuatu yang sangat penting dan strategis karena seringkali diidentikkan dengan budi pekerti atau akhlak. Dalam budaya Jawa misalnya, nilai-nilai kehidupan masyarakat Jawa sangat pantas untuk dijadikan pedoman pengembangan karakter seseorang.
Buku karya Bagus Mustakim, hadir untuk meneguhkan kembali pendidikan karakter yang selama ini melenceng dari undang-undang. Padahal jika ditelaah lebih lanjut,dalam pendidikan semua itu mengamanatkan pembentukan karakter akan tetapi menampilkan praktik yang berbeda.
Dalam pandangan Mustakim, pendidikan selama ini lebih berorientasi pada kecakapan akademik dan vokasional serta mengesampingkan pendidikan karakter bangsa. Meskipun dalam batas-batas tertentu dapat ditemukan praktik pendidikan karakter, namun praktik itu mengarah pada pendidikan yang bersifat simbolik dan formalistik, bahkan cenderung politis (hlm; 41).
Di samping itu peyelenggaraan pendidikan juga terjebak pada orientasi lain yang keluar dari tujuan pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan yang menurut undang-undang ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan rakyat bergeser ke arah praktik yang cenderung kapitalistik. Pendidikan bergeser menjadi salah satu bagian dari elemen kapitalisme yang memiskinkan rakyat (hlm; 54).
Jika hal di atas tidak segera diatasi, maka bukan tidak mungkin apa yang dikhawatirkan bangsa ini akan muncul, yakni perilaku anarkis, tawuran antar-warga, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, korupsi, kriminalitas, kerusakan lingkungan dan berbagai tindakan patologi sosial lainnya yang menunjukkan indikasi adanya masalah akut dalam bangunan karakter bangsa.
 Apalagi penyelenggara pendidikan di Indonesia lebih memilih paradigma konservatif yang berfungsi melestarikan tradisi-tradisi modern yang eksploitatif. Fenomena patologi sosial tersebut jelas bertentangan dengan visi dan misi pendidikan dalam membentuk manusia Indonesia yang berkepribadian dan berakhlak mulia sebagaimana dicita-citakan dalam tujuan pendidikan nasional.
Untuk mengatasi semua itu Mustakim menawarkan, meneguhkan pendidikan karakter adalah solusi terbaik. Meskipun terlalu berlebihan karena pendidikan karakter seakan-akan diposisikan sebagai dewa penyelamat. Banyak orang mulai pakar sampai praktisi pendidikan, meyakini bahwa pendidikan karakter dapat menjadi obat yang mujarab bagi persoalan-persoalan karakter kebangsaan (hlm; 108).
Dengan demikian yang diperlukan adalah revitalisasi pendidikan karakter di sekolah. Sekolah harus menjadikan pendidikan karakter, yang sejatinya menjadi misi sekolah, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam praktik pendidikan. Karena pendidikan karakter bukanlah konsep baru dalam praktik pendidikan nasional. Berbicara pendidikan karakter berarti mengembalikan sekolah pada tugas pendidikanya sesuai undang-undang, yakni membangun karakter bangsa.
Dalam buku ini, Mustakim juga menjelaskan tentang konsep pendidikan karakter yang dibangun secara komperenshif melalui kajian historis, paradigmatis, sampai tingkat praktis. Dengan demikian, diharapkan para pembaca dapat memahami konsep pendidikan karakter secara utuh sekaligus dapat mengimplementasikannya pada wilayah praktis.
Karya ini lahir dari kegelisahan penulisnya terhadap perkembangan wacana pendidikan karakter belakangan ini. Pendidikan karakter seolah menjadi “agama baru” dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Buku ini menarik dan penting untuk  dibaca oleh guru-guru di sekolah yang berperan sebagai ujung tombak pendidikan dari tingkat paling bawah hingga yang paling tinggi.
( Dimuat Harian Pelita, Sabtu 10 September 2011)

Peresensi  adalah M. Nafiul Haris, Peneliti el- Wahid Center Universitas Wahid Hasyim Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar