Jumat, 23 September 2011

Okezone.com


Mengembalikan Moralitas Kampus
Oleh : M. Nafiul Haris

Akhir-akhir ini istilah plagiarisme banyak dipersoalkan. Mulai dari menuliskannya di media massa ataupun lewat diskusi dan seminar. Meski kini banyak slogan bertebaran dalam buku-buku maupun dunia maya bahwa "menulis itu mudah", kenyataannya tidak sedikit para dosen yang mengajar di perguruan tinggi di Indonesia memperoleh kesulitan kenaikan pangkat karena prasyarat dalam tri dharma tidak terpenuhi.
Satu syarat dalam tri dharma yang berkaitan dengan dunia menulis adalah karya ilmiah hasil dari penelitian. Akibatnya plagiat menjadi alternatif pilihan bagi para dosen yang hanya mengejar pangkat belaka. Membaca Kompas edisi kamis, 25 Agustus, cukup menjadi bukti. Bagaimana tidak, seorang guru besar di Universitas Riau yang juga bekas dekan FKIP justru melakukan tindakan yang tak terpuji, yakni plagiarisme.
Buku yang ditulisnya berjudul Sejarah Maritim ternyata, merupakan  hasil copy-paste dari buku budaya bahari yang ditulis Mayjen Purn. Joko Pramono. Fenomena ini secara tidak langsung adalah wujud di mana ancaman runtuhnya moralitas kampus kita sudah dimulai. Kreatifitas dan kredibilitas seorang guru/dosen dipertanyakan, dosen yang seharusnya mentradisikan menulis untuk mahasiswanya justru malah sebaliknya.
 Padahal jika ditelaah seorang dosen mempunyai banyak gagasan, pengetahuan yang luas sehingga cukup untuk dituliskan. Namun ironisnya, plagiarisme masih menjadi hal menarik untuk dilakukan para dosen kita memang mudah meniru itu, tak usah bersusah-payah meriset, membaca buku dan sebagainya untuk menghasilkan sebuah karya, tinggal copy sana-sini jadilah sebuah karya tulis.

Bencana Akademis

 Akibatnya, buat pendidikan terutama kampus perilaku plagiat tadi dianggap sebagai bencana akademis ditambah lagi dengan kisruh penganugerahan gelar doktor kehormatan (honoris causa/HC) kepada Raja Arab Saudi oleh Universitas Indonesia (UI) baru-baru ini-pun menuai pro dan kontra. Rektor UI Prof Dr Gumilar Rusliwa Somantri, yang memberikan gelar tersebut kepada Raja Abdullah bin Abdul-Azis, 21 Agustus 2011 lalu di Istana Kerajaan Arab Saudi, diprotes banyak kalangan di dalam negeri ini semakin menyudutkan  kampus dimana etika instansi dipertanyakan. Institusi kampus di mana banyak orang berharap adanya kejujuran namun masih kecolongan juga. Pada saat ini,  bagi seorang dosen selain aktifitasnya mengajar sebagai wujud pengabdian masyarakat adalah mentradisikan menulis. Hal inilah yang menjadi titik lemah dan sulit untuk dilakukan bagi kebanyakan dosen.
Masalahnya seberapa banyak laporan penelitian dan karya ilmiah yang dapat ditulis dan dipublikasikan seorang dosen dalam kurun waktu tertentu. Seiring dengan itu rendahnya standar kompetensi dan profesionalisme mengajar dosen juga dilematis. Dengan demikian mengakibatkan banyaknya dosen yang melakukan plagiarisme demi menaikkan pangkat (sertifikasi) dan plagiarisme seperti yang dilakukan oleh seorang guru besar di Riau tersebut bisa menjadi bukti sahih betapa para dosen kita ini masih belum bisa mentradisikan menulis.
Kita tentu tidak ingin kasus diatas terjadi di Universitas lain. Karena satu dosen memplagiat semua pengajar kena getahnya. Untuk itu pada masa mendatang, verifikasi insan kampus atas karya yang dihasilan sivitas akademikanya mesti lebih diperketat, apalagi yang berkenaan dengan buku, jurnal dan sebagainya. Sebab, tanpa verifikasi yang ketat, sebuah karya akan meluncur begitu saja tanpa seleksi. Komite etik tiap kampus mesti semakin awas dalam mengawasi setiap bentuk karya yang dihasilkan para dosen.
Namun, kita juga mesti bijak melihatnya, bahwa yang terjadi ini hanyalah oknum. Tidak serta merta semua guru besar punya kans melakukan praktek haram semacam itu. Yang punya integritas masih banyak, yang jujur dalam menulis juga demikian. Ini hanya sampel kasus yang tak bisa digeneralisasi.
Yang mesti diperketat tentu saja dalam proses sertifikasi dosen. Lihat semua karya yang mereka lampirkan dalam proses itu, apakah ada bibit plagiat atau tidak. Tentunya bahan bacaan penilai harus banyak karena tanpa itu, pisau pengawasan akan tumpul. Termasuk juga membaca jurnal berbahasa Inggris karena bisa terjadi menjiplak dari sana. Semua pintu yang berpeluang menciptakan plagiarisme harus ditutup. Dengan seleksi yang ketat, kredibilitas kampus juga terjadi.

Membangun Kultur Menulis

Solusi mengatasi masalah plagiat sebenarnya sederhana, maukah kita menuliskan sumber sebenarnya bahan-bahan yang diperoleh. Kemudian,ide-ide orisinalitas yang kita miliki tetap harus dimunculkan. Bukankah menulis itu adalah kemahiran dan seni mengelola kemampuan yang dimiliki. 
Ini memang soal kemauan dan integritas ketika kita memutuskan dan memilih profesi menjadi dosen. Seorang dosen pasti memiliki sisi keunikannya. Ini bisa dilihat dari gaya, mood dalam menulis, kekuatan ekspresi asli dalam pengungkapan kata demi kata, kemudian muncul dalam karakter dari masing-masing tulisan yang dihasilkan. 
Bakat setiap orang pasti berbeda antara yang satu dengan lainnya. Komposisi kesemua hal tersebut akan menciptakan sebuah tulisan otentik yang akan menambah kaya khasanah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, seorang dosen tidak usah takut untuk menulis, karena orang pasti tahu apakah itu tulisan kita yang sebenarnya atau bukan. 
Yakinlah, golongan kepegawaian tidak usah dikejar, apalagi dengan cara-cara yang tidak benar. Apabila kultur menulis telah terbentuk dengan baik, dengan sendirinya struktur akan menghampiri kita. Menulis itu tidak sulit, yang sulit bila kita tidak mau memulai. Namun semua itu tentu harus dibarengi dengan kejujuran.

Penulis
M. Nafiul Haris,
Peneliti di El-Wahid Center  Universitas Wahid Hasyim Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar