Kamis, 21 Juli 2011

Resensi PERADA

Pluralisme Menyelamatkan Agama dan Bangsa

Judul : Pluralisme Menyelamatkan Agama-agama

Penulis : Moh. Shofan

Penerbit : Samudra Biru, Yogyakarta

Tahun : 1, Januari 2011

Tebal : xxxii+161 halaman

Harga : Rp. 45000

Di tengah perpecahan umat beragama dan maraknya kekerasan bermotif agama, buku Pluralisme Menyelamatkan Agama-agama hadir untuk meneguhkan kembali semangat pluralisme, toleransi, kerukunan, demokrasi, gotong royong dan HAM.

Teror atas nama agama yang seringkali dilakukan oleh umat Islam di Indonesia sekarang ini adalah cermin kuat ideologi fundamentalisme Islam dengan pendekatan literalis, formalis, absolutis dan anti-pluralis. Sebagian lagi didasarkan pada pandangan yang apokaliptik (agama bergabung dengan rasialisme), mengenai misi politik agama.

Pembakaran tempat ibadah, penusukan terhadap pemuka agama lain, pengusiran jamaah Ahmadiyah, pelarangan beribadah, penangkapan, dan tindak kekerasan lainnya terhadap pemeluk agama lain yang dianggap sesat dan menyimpang, merupakan contoh betapa cara pandang totalitarian (anti demokrasi) dalam paham beragama kita yang masih rendah.

“Tragedi” itu menjadi ancaman terhadap penegakan konstitusi dan toleransi antar umat beragama. Lebih ironis lagi, negara seakan diam dan tak berdaya di tengah merebaknya fenomena kekerasan atas nama agama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengharamkan sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Secara tidak langsung, fatwa tersebut berimbas pada semakin kuatnya legitimasi kekerasan atas nama agama.

Dalam buku ini, Moh Shofan mencoba memaparkan makna asli yang terkandung dalam pluralisme. Ia menyuguhkan tulisannya tidak hanya bagi umat Islam di Indonesia, tetapi ditujukan juga pada pemeluk agama lain. Dia menegaskan bahwa “pluralisme bukanlah ajaran yang eksklusif bagi umat Islam saja, tapi juga perlu diterima agama-agama lain demi kesinambungan pewartaan wahyu Tuhan” (hal;25).

Sebagai seorang muslim yang pernah lama belajar di pesantren, Shofan mengerti bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan perdamaian dan anti kekerasan. Namun, dalam realitasnya, baik realitas masa lalu maupun kini, perkembangan Islam diwarnai dengan aksi-aksi kekerasan berdalih “amar ma’ruf nahi munkar” yang seolah dilegitimasi kitab suci. Ini menjadi pertanyaan penting bagi para ilmuwan sosial Indonesia yang berkutat pada dunia akademisi riset ataupun organisasi masyarakat khususnya dibidang pluralisme.

Norma-norma moral menuntut adanya suatu diskursus praktis yang harus dilaksanakan di tataran riil. Relasi saling percaya yang belum terbentuk di masyarakat sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama bagi proses diskursus praktis untuk menciptakan kesalingpahaman. Hal inilah yang diungkapkan oleh Shofan di buku ini.

Dalam pandangan Shofan, setiap tradisi keagamaan selalu terkandung benih-benih ideologi atau teologi yang bersifat isolasionis (tiap agama hidup dan berkembang dalam “ghetto-nya” sendiri-sendiri), konfrontasionis (yang lain dan yang berbeda adalah pesaing yang perlu dicurigai), dan bahkan kebencian (yang lain dan yang berbeda adalah musuh yang harus ditaklukkan) (hal;33 ).

Jika hal di atas tidak segera diatasi, maka bukan tidak mungkin apa yang dikhawatirkan selama ini akan muncul, yakni fanatisme akibat ketidakpercayaan diri menghadapi perbedaan pemikiran, ekspresi kehidupan, kemudian menetapkan segala hal ihwal yang suci dianggap steril, tak pernah terkontaminasi, dan diyakini bersifat murni. Fanatisme ini pada akhirnya akan merendahkan kemuliaan manusia sebagai hamba Tuhan, berupa pencapaian kebenaran dan martabat manusia.

Untuk mengatasi semua itu Shofan menawarkan bahwa menegakkan pluralisme adalah jalan satu-satunya. Namun, jika melihat realitas sekarang, semua itu tak mudah ketika arus konservatisme semakin deras. Pada titik ini, peran pluralisme sangat menentukan. Pandangan normatif terhadap pluralisme tidak boleh dibiarkan berhenti pada lembaran-lembaran teks tetapi perlu dipahami dengan kerangka metodologis dalam menafsirkan dan mentranformasikannya (hal;87 ).

Buku ini adalah bagian dari tradisi intelektual yang harus dijaga. Dibaca guna mengembangkan sikap penuh toleransi dan apresiatif terhadap kelompok-kelompok agama lain untuk menciptakan masyarakat yang damai, sebagaimana hal itu diajarkan dalam Islam.

Guru-guru agama di sekolah yang berperan sebagai ujung tombak pendidikan agama dari tingkat paling bawah hingga yang paling tinggi, nyaris kurang tersentuh oleh gelombang pergumulan pemikiran dan diskursus keagamaan seputar isu pluralisme dan dialog antar-umat beragama.

Kehadiran buku ini adalah hasil ikhtiar pemikiran cerdas dari penulisnya untuk tidak sekadar menyoal pluralisme yang masih terkesan lamban dalam implementasinya, tetapi juga untuk membangun sistem kehidupan yang damai, berkeadilan, berkesetaraan, dan memelihara anugerah kebebasan. Semua ini memerlukan seperangkat rumusan yang tepat agar kita tidak terjebak pada pemahaman agama dalam pengertian yang patrikultural. Pluralisme adalah jalan terbaik untuk hubungan antar dan intra-agama.

Peresensi : M. Nafiul Haris,

Peneliti el- Wahid Center Universitas Wahid Hasyim Semarang

Alamat : JL. Menoreh Tengah X/22 Sampangan Semarang

(Di muat koran jakarta senin, 11 juli 2011)