Kamis, 22 September 2011

Koran Jakarta


Gagasan
Senin, 19 September 2011 | 00:36:19 WIB

PERADA
Membangun Integrasi dengan Etika
Akhir-akhir ini di Indonesia, etika publik banyak dibicarakan. Terlebih, ada kesan etika publik disamakan dengan etika politik. Ada yang mengira hanya sebagai etiket bermasyarakat saja, bahkan ada yang menafsirkannya sebagai kewajiban publik untuk menghormati etika. Buku Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi hadir dengan tujuan membantu membangun integritas publik para politisi dan pejabat publik.

Konflik kepentingan, korupsi, dan birokrasi yang berbelit adalah cermin buruknya pelayanan publik. Masalahnya, bukan hanya terletak pada kualitas moral seseorang saja (jujur dan adil), namun terutama pada sistem yang kondusif. Sebetulnya, banyak pejabat publik dan politisi yang jujur dan serius berjuang untuk kepentingan publik. Etika publik diperlukan untuk pembaharuan dan perbaikan pelayanan publik.

Haryatmoko menekankan etika publik bukan hanya kode etik atau norma, tapi bagian dimensi reflektifnya. Etika publik juga membantu dalam mempertimbangkan pilihan sarana kebijakan publik, sekaligus alat evaluasi yang memperhitungkan konsekuensi etisnya. Etika publik diperlukan untuk pembaharuan dan perbaikan pelayanan publik (hlm 33).

Supaya budaya etika publik ini bisa menjadi praktik kehidupan dalam organisasi, keterlibatan sosial, politik, akuntabilitas dan transparansi perlu ditekankan. Di antaranya dengan mengusahakan pembentukan komisi etika dan pembangunan infrastruktur etika, transparansi dalam hal pengadaan barang atau jasa publik, juga kompetensi pejabat publik yang khusus meniti bidang ini.

Kuatnya kontrol yang dilembagakan dalam manajemen dan orientasi pada nilai itu diharapkan membantu mencegah konflik kepentingan, sehingga membuat pejabat lebih responsif terhadap kebutuhan publik. Jadi, arah etika publik difokuskan pada upaya menciptakan budaya etika dalam organisasi. Maka untuk menggerakkan ke arah budaya etika ini, dalam setiap instansi pemerintahan perlu dibentuk Komisi Etika. Hal inilah yang coba diungkapkan Haryatmoko dalam buku bertebal 217 halaman ini.

Dalam pandangan Haryatmoko, pemberdayaan civil society untuk integritas publik dilakukan dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam pengawasan terhadap pelayanan publik serta melalui Kartu Pelaporan oleh Warga Negara, pembentukan jaringan dan pendidikan, pelatihan dalam rangka pemberantasan korupsi dan ikut serta dalam pengawasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Semua itu dapat mencegah konflik kepentingan dan melihat bagaimana praktik serta penerapannya di dalam lingkungan pekerjaan (hlm 99).

Baginya, membangun akuntabilitas dan transparansi merupakan kemungkinan modalitas untuk menjamin integritas publik para politisi dan pejabat publik karena integritas publik merupakan keutamaan sosial yang harus dilatih dan dibiasakan dalam keterlibatan sosial-politik serta organisasi dan pengabdian masyarakat. Dengan begitu, maka manajemen organisasi harus mengintegrasikan standar etika agar pelayanan publik menjadi lebih fokus, berkualitas, dan relevan.

Buku ini, sebagai salah satu upaya membantu membangun budaya etika publik dalam organisasi. Dengan membaca buku ini, pembaca diajak mendalami bagaimana mampu memisahkan dengan tegas antara wilayah publik dan wilayah pribadi, maka dengan demikian etika publik menjadi sangat relevan untuk diajarkan.

Selesai membaca buku ini, saya seperti meneguk air segar. Ada sesuatu yang membekas dipojok hati. Mungkin ini yang dimaksud Franz Kafka, seorang penulis asal Jerman, bahwa "A book must be an ice-axe to break the seas frozen inside our soul".

Peresensi
M. Nafiul Haris, Peneliti el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim Semarang

Judul : Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi
Penulis : Haryatmoko
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun : 1, Juni 2011
Tebal : 217 halaman
IHarga : Rp55.000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar