Desa Sebagai Pilar
Pertumbuhan
Oleh: M. Nafiul Haris
Desa tak hanya sekadar satuan wilayah terkecil dalam konteks
kenegaraan. Desa adalah basis eksistensi suatu negara. Bahkan, boleh dikatakan,
desa merupakan soko guru penting
eksistensi suatu negara. Tak kurang dari 68 persen penduduk Indonesia, berada
di desa.
Berbagai negara maju, seperti Perancis, yang telah lama
menganut asas desentralisasi dan otonomi daerah, desa merupakan sentra
perubahan dalam meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat. Orientasi pembangunan menjadikan desa sebagai basis.
Karenanya desa juga dinyatakan
sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, sosial, dan politik (khasnya demokrasi).
Sampai 1999, Indonesia telah mempunyai UU No. 5/79 tentang
Pemerintahan Desa, melengkapi UU No. 5/74, yang dimaksudkan untuk mengakomodasi prinsip otonomi
daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Namun, ketika refomasi
berlangsung (dengan semangat reformasi), disertai uforia otonomi daerah yang
membuncah, kedua undang-undang ini kemudian diubah menjadi UU No. 22/1999
tentang Pemerintahan
Daerah.
Tak dapat disangkal, sejak Indonesia merdeka dan dipimpin
Bung Karno, desa tumbuh dan berkembang dengan caranya sendiri. Kota selalu tumbuh dinamis, berkembang
pesat, sehingga menimbulkan disparitas antara desa dan kota. Pemerintahan Soeharto hendak
mengatasi hal ini, antara lain dengan menerapkan prinsip perencanaan
pembangunan spasial dan membentuk Bappeda (Badan Perencanaan Daerah) di tingkat
Kabupaten, Kota, dan Provinsi. Lantas membentuk LSD (Lembaga Sosial Desa), LMD
(Lembaga Musyawarah Desa), LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), dan
akhirnya LPMD (Lembaga Pembangunan Masyarakat Desa). Belakangan, sejak 2004,
berlaku Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) dari tingkat desa
sampai tingkat nasional. Tapi desa belum juga menjadi pusat pertumbuhan.
Realitas inilah yang menyebabkan berlakunya migrasi yang
menjelma sebagai urbanisasi di kota-kota, dan membuat DKI Jakarta, sebagai ibu kota negara, terancam stag
total! Terutama, ketika desa tak dilihat secara kontributif atas kota, dan masih selalu
dipandang sebagai hinterland (daerah
pedalaman) atau bufferzone.
Karena mayoritas kita adalah orang desa, -paling tidak bermoyang orang desa-, mestinya tak ada alasan untuk
mengabaikan desa. Apalagi, strategi pembangunan kita berorientasi pada
penanggulangan kemiskinan, pro pertumbuhan, pro kesempatan kerja, dan pro
lingkungan hidup. Penguatan desa sebagai pusat pertumbuhan, merupakan bagian
strategis dari manifestasi seluruh orientasi pembangunan itu.
Instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2009 sudah jelas. Menteri Dalam
Negeri dan para menteri terkait mesti berinisiatif dan memberi prioritas pada
pembangunan desa sebagai pusat pertumbuhan. Karenanya, tak ada alasan bagi
aparatur pemerintah (termasuk anggota parlemen) untuk berlama-lama menunda
pembahasan UU tentang Pemerintahan Desa.
Menuju Desa
Maju
Dalam
memajukan sebuah desa, harus
dilandasi beberapa alasan. Pertama,
adanya peningkatan dalam hal perekonomian di desa tersebut. Kedua, mata pencarian masyarakat desa harus berbasis komponen kearifan lokal, misalnya pertanian desa harus mandiri dan memiliki sistem irigasi yang baik. Itu apabila kebanyakan warga desa
rata-rata memiliki penghasilan dari pertanian.
Contoh dalam memajukan pertanian, hendaknya dimulai dari hal
terkecil, seperti desa memiliki koperasi untuk memberi kemudahan bagi warga dengan bunga kecil. Memberi
kelonggaran kepada warga untuk menaikan ekonominya sendiri dengan mengoptimalkan koperasi desa. Desa disebut maju dan mandiri jika desa memiliki aturan yang fleksibel berbasis gotong royong. Komunalisme telah lama menjadi spirit
masyarakat desa sekian abad lalu.
Selanjutnya, yang harus
dikembangkan adalah yang memegang peranan penting dalam desa itu
sendiri, yakni pemerintah desa setempat harus selalu
memperhatikan desa dalam perekonomian, politik, budaya, agama dan hal-hal lainnya.
Di sisi lain, profesonalisme dalam
suatu pedesaan sangat dibutuhkan demi tercapainya desa yang maju dan mandiri. Buktinya, di desa Salam, Sumatera Utara, gotong royong sangat ditekankan agar
warganya selalu kompak dan mau bahu membahu. Itu suatu contoh profesionalisme khas desa, karena mereka tidak meminta bayaran dan mengerjakan itu
dengan gotong royong tanpa pamrih untuk memajukan desa.
Profesionalisme
tanpa didukung inisiatif kerja dalam hal membagi waktu masyarakatnya, menuju desa yang layak
dikatakan maju tidak cukup. Di sini, inisiatif kerja bisa dilihat dalam hal pembagian waktu dalam ronda malam untuk keamanan
desa. Desa yang maju harus
memiliki pertahanan dan keamanan
(hankam) yang kuat dan intensif.
Dalam APBDes, pemasukan dan pengeluaran desa juga
harus diperhatikan. Hal ini
diperlukan agar desa tak mengalami defisit anggaran. Perencanaan anggaran desa
harus mempertimbangkan potensi pemasukan dan skala prioritas kebutuhan
masyarakat.
Sumber Daya
Sudah tidak diragukan lagi, desa memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah. Jika dikelola dengan baik secara profesional dan terorganisir, maka potensi desa untuk maju sangat
dimungkinkan. Namun jika dalam hal
untuk memajukan sebuah desa yang
dulu menjadi masalah karena minimya lulusan sarjana dengan SDM yang memadai,
kini hal itu bukanlah suatu masalah lagi yang perlu dikhawatirkan, karena
sekarang sudah banyak lulusan sarjana di
desa dalam berbagai bidang.
Dengan adanya para lulusan perguruan
tinggi untuk mewujudkan desa maju semakin jelas, pemerintah desa harus memaksimalkan
dan memberi ruang bagi sarjana di desa untuk mengimplementasikan ilmunya. Secara
bertahap, desa yang dulunya masih tertinggal baik dari bidang ekonomi akan
lebih baik daripada sebelumnya. SDM di desa akan mendorong peningkatan
pengetahuan masyarakat untuk memberdayakan potensi alam di desanya. Yang paling
mungkin dilakukan adalah pengembangan pertanian dan peternakan yang saling
integratif dan menguntungkan. Sisa tanaman dan rumput dapat menjadi pakan
ternak, sementara kotoran ternak akan menjadi pupuk.
Dengan bukti
di atas, bukan tidak mungkin jika desa dikatakan
sebagai pilar pembangunan. Saatnya
orang desa sadar bahwa dia hidup di dalam
wilayah yang kaya dengan sumber daya alam, tak perlu lagi
berbondong-bondong urbanisasi (merantau)
ke kota-kota besar seperti Jakarta
dan kota-kota besar lainya demi memperbaiki kondisi ekonominya. Masyarakat desa harus sadar, bahwa desa lebih menjamin dirinya untuk
maju dan sukses tanpa harus urbanisasi.
Dimuat Radar Lampung 10 Agustus, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar