Rabu, 14 September 2011

RADAR Lampung


Desa Sebagai Pilar Pertumbuhan

Oleh: M. Nafiul Haris

Desa tak hanya sekadar satuan wilayah terkecil dalam konteks kenegaraan. Desa adalah basis eksistensi suatu negara. Bahkan, boleh dikatakan, desa merupakan soko guru penting eksistensi suatu negara. Tak kurang dari 68 persen penduduk Indonesia, berada di desa.
Berbagai negara maju, seperti Perancis, yang telah lama menganut asas desentralisasi dan otonomi daerah, desa merupakan sentra perubahan dalam meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat. Orientasi pembangunan menjadikan desa sebagai basis. Karenanya desa juga dinyatakan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, sosial, dan politik (khasnya demokrasi).
Sampai 1999, Indonesia telah mempunyai UU No. 5/79 tentang Pemerintahan Desa, melengkapi UU No. 5/74, yang dimaksudkan untuk mengakomodasi prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Namun, ketika refomasi berlangsung (dengan semangat reformasi), disertai uforia otonomi daerah yang membuncah, kedua undang-undang ini kemudian diubah menjadi UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Tak dapat disangkal, sejak Indonesia merdeka dan dipimpin Bung Karno, desa tumbuh dan berkembang dengan caranya sendiri. Kota selalu tumbuh dinamis, berkembang pesat, sehingga menimbulkan disparitas antara desa dan kota. Pemerintahan Soeharto hendak mengatasi hal ini, antara lain dengan menerapkan prinsip perencanaan pembangunan spasial dan membentuk Bappeda (Badan Perencanaan Daerah) di tingkat Kabupaten, Kota, dan Provinsi. Lantas membentuk LSD (Lembaga Sosial Desa), LMD (Lembaga Musyawarah Desa), LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), dan akhirnya LPMD (Lembaga Pembangunan Masyarakat Desa). Belakangan, sejak 2004, berlaku Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) dari tingkat desa sampai tingkat nasional. Tapi desa belum juga menjadi pusat pertumbuhan.
Realitas inilah yang menyebabkan berlakunya migrasi yang menjelma sebagai urbanisasi di kota-kota, dan membuat DKI Jakarta, sebagai ibu kota negara, terancam stag total! Terutama, ketika desa tak dilihat secara kontributif atas kota, dan masih selalu dipandang sebagai hinterland (daerah pedalaman) atau bufferzone.
Karena mayoritas kita adalah orang desa, -paling tidak bermoyang orang desa-, mestinya tak ada alasan untuk mengabaikan desa. Apalagi, strategi pembangunan kita berorientasi pada penanggulangan kemiskinan, pro pertumbuhan, pro kesempatan kerja, dan pro lingkungan hidup. Penguatan desa sebagai pusat pertumbuhan, merupakan bagian strategis dari manifestasi seluruh orientasi pembangunan itu.
Instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2009 sudah jelas. Menteri Dalam Negeri dan para menteri terkait mesti berinisiatif dan memberi prioritas pada pembangunan desa sebagai pusat pertumbuhan. Karenanya, tak ada alasan bagi aparatur pemerintah (termasuk anggota parlemen) untuk berlama-lama menunda pembahasan UU tentang Pemerintahan Desa.

Menuju Desa Maju
Dalam memajukan sebuah desa, harus dilandasi beberapa alasan. Pertama, adanya peningkatan dalam hal perekonomian di desa tersebut. Kedua, mata pencarian masyarakat desa harus berbasis komponen kearifan lokal, misalnya pertanian desa  harus mandiri dan memiliki sistem irigasi yang baik. Itu apabila kebanyakan warga desa rata-rata memiliki penghasilan dari pertanian.
Contoh dalam memajukan pertanian, hendaknya dimulai dari hal terkecil, seperti desa memiliki koperasi untuk memberi kemudahan bagi warga dengan bunga kecil. Memberi kelonggaran kepada warga untuk menaikan ekonominya sendiri dengan mengoptimalkan koperasi desa. Desa disebut maju dan mandiri jika desa memiliki aturan yang fleksibel berbasis gotong royong. Komunalisme telah lama menjadi spirit masyarakat desa sekian abad lalu.
Selanjutnya, yang harus dikembangkan adalah yang memegang peranan penting dalam desa itu sendiri, yakni pemerintah desa setempat harus selalu memperhatikan desa dalam perekonomian, politik, budaya, agama dan hal-hal lainnya.
Di sisi lain, profesonalisme dalam suatu pedesaan sangat dibutuhkan demi tercapainya desa yang maju dan mandiri. Buktinya, di desa Salam, Sumatera Utara, gotong royong sangat ditekankan agar warganya selalu kompak dan mau bahu membahu. Itu suatu contoh profesionalisme khas desa, karena mereka tidak meminta bayaran dan mengerjakan itu dengan gotong royong tanpa pamrih untuk memajukan desa.
Profesionalisme tanpa didukung inisiatif kerja dalam hal membagi waktu masyarakatnya, menuju desa yang layak dikatakan maju tidak cukup. Di sini, inisiatif kerja bisa dilihat dalam hal pembagian waktu dalam ronda malam untuk keamanan desa. Desa yang maju harus memiliki pertahanan dan keamanan (hankam) yang kuat dan intensif.
Dalam APBDes, pemasukan dan pengeluaran desa juga harus diperhatikan. Hal ini diperlukan agar desa tak mengalami defisit anggaran. Perencanaan anggaran desa harus mempertimbangkan potensi pemasukan dan skala prioritas kebutuhan masyarakat.  
Sumber Daya
            Sudah tidak diragukan lagi, desa memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah. Jika dikelola dengan baik secara profesional dan terorganisir, maka potensi desa untuk maju sangat dimungkinkan. Namun jika dalam hal untuk memajukan sebuah desa yang dulu menjadi masalah karena minimya lulusan sarjana dengan SDM yang memadai, kini hal itu bukanlah suatu masalah lagi yang perlu dikhawatirkan, karena sekarang sudah banyak lulusan sarjana  di desa dalam berbagai bidang.
Dengan adanya para lulusan perguruan tinggi untuk mewujudkan desa maju semakin jelas, pemerintah desa harus memaksimalkan dan memberi ruang bagi sarjana di desa untuk mengimplementasikan ilmunya. Secara bertahap, desa yang dulunya masih tertinggal baik dari bidang ekonomi akan lebih baik daripada sebelumnya. SDM di desa akan mendorong peningkatan pengetahuan masyarakat untuk memberdayakan potensi alam di desanya. Yang paling mungkin dilakukan adalah pengembangan pertanian dan peternakan yang saling integratif dan menguntungkan. Sisa tanaman dan rumput dapat menjadi pakan ternak, sementara kotoran ternak akan menjadi pupuk.
Dengan bukti di atas, bukan tidak mungkin jika desa dikatakan sebagai pilar pembangunan. Saatnya orang desa sadar bahwa dia hidup di dalam wilayah yang kaya dengan sumber daya alam, tak perlu lagi berbondong-bondong urbanisasi (merantau) ke kota-kota besar seperti Jakarta dan kota-kota besar lainya demi memperbaiki kondisi ekonominya. Masyarakat desa harus sadar, bahwa desa lebih menjamin dirinya untuk maju dan sukses tanpa harus urbanisasi.
Dimuat Radar Lampung 10 Agustus, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar