Mengembalikan Moralitas Kampus
Oleh : M. Nafiul Haris
Akhir-akhir
ini istilah plagiarisme banyak dipersoalkan. Mulai dari menuliskannya di media massa ataupun lewat diskusi dan
seminar. Meski kini banyak slogan bertebaran dalam buku-buku maupun dunia maya
bahwa "menulis itu mudah", kenyataannya tidak sedikit para dosen yang
mengajar di perguruan tinggi di Indonesia memperoleh kesulitan kenaikan pangkat
karena prasyarat dalam tri dharma tidak terpenuhi.
Satu
syarat dalam tri dharma yang berkaitan dengan dunia menulis adalah karya ilmiah
hasil dari penelitian. Akibatnya plagiat menjadi alternatif pilihan bagi para
dosen yang hanya mengejar pangkat belaka. Membaca Kompas edisi kamis, 25 Agustus, cukup menjadi bukti. Bagaimana
tidak, seorang guru besar di Universitas Riau yang juga bekas dekan FKIP justru
melakukan tindakan yang tak terpuji, yakni plagiarisme.
Buku
yang ditulisnya berjudul Sejarah Maritim
ternyata, merupakan hasil copy-paste dari buku budaya bahari yang
ditulis Mayjen Purn. Joko Pramono. Fenomena ini secara tidak langsung adalah
wujud di mana ancaman runtuhnya moralitas kampus
kita sudah dimulai. Kreatifitas dan kredibilitas seorang guru/dosen
dipertanyakan, dosen yang seharusnya mentradisikan menulis untuk mahasiswanya
justru malah sebaliknya.
Padahal jika ditelaah seorang dosen mempunyai
banyak gagasan, pengetahuan yang luas sehingga cukup untuk dituliskan. Namun
ironisnya, plagiarisme masih menjadi hal menarik untuk dilakukan para dosen
kita memang mudah meniru itu, tak usah bersusah-payah meriset, membaca buku dan
sebagainya untuk menghasilkan sebuah karya, tinggal copy sana-sini jadilah
sebuah karya tulis.
Bencana Akademis
Akibatnya, buat
pendidikan terutama kampus perilaku plagiat tadi dianggap sebagai bencana
akademis ditambah lagi dengan kisruh penganugerahan gelar doktor kehormatan
(honoris causa/HC) kepada Raja Arab Saudi oleh Universitas Indonesia (UI)
baru-baru ini-pun menuai pro dan kontra. Rektor UI Prof Dr Gumilar Rusliwa
Somantri, yang memberikan gelar tersebut kepada Raja Abdullah bin Abdul-Azis,
21 Agustus 2011 lalu di Istana Kerajaan Arab Saudi, diprotes banyak kalangan di
dalam negeri ini semakin menyudutkan kampus dimana etika instansi dipertanyakan.
Institusi kampus di mana
banyak orang berharap adanya kejujuran namun masih kecolongan juga. Pada saat
ini, bagi seorang dosen selain
aktifitasnya mengajar sebagai wujud pengabdian masyarakat adalah mentradisikan
menulis. Hal inilah yang menjadi titik lemah dan sulit untuk dilakukan bagi
kebanyakan dosen.
Masalahnya
seberapa banyak laporan penelitian dan karya ilmiah yang dapat ditulis dan
dipublikasikan seorang dosen dalam kurun waktu tertentu. Seiring dengan itu
rendahnya standar kompetensi dan profesionalisme mengajar dosen juga dilematis.
Dengan demikian mengakibatkan banyaknya dosen yang melakukan plagiarisme demi
menaikkan pangkat (sertifikasi) dan plagiarisme seperti yang dilakukan oleh seorang guru
besar di Riau tersebut bisa menjadi bukti sahih betapa para dosen kita ini
masih belum bisa mentradisikan menulis.
Kita tentu tidak
ingin kasus diatas terjadi di Universitas lain. Karena satu dosen memplagiat
semua pengajar kena getahnya. Untuk itu pada masa mendatang, verifikasi insan
kampus atas karya yang dihasilan sivitas akademikanya mesti lebih diperketat,
apalagi yang berkenaan dengan buku, jurnal dan sebagainya. Sebab, tanpa
verifikasi yang ketat, sebuah karya akan meluncur begitu saja tanpa seleksi.
Komite etik tiap kampus mesti semakin awas dalam mengawasi setiap bentuk karya
yang dihasilkan para dosen.
Namun, kita juga
mesti bijak melihatnya, bahwa yang terjadi ini hanyalah oknum. Tidak serta
merta semua guru besar punya kans melakukan praktek haram semacam itu. Yang
punya integritas masih banyak, yang jujur dalam menulis juga demikian. Ini
hanya sampel kasus yang tak bisa digeneralisasi.
Yang mesti
diperketat tentu saja dalam proses sertifikasi dosen. Lihat semua karya yang
mereka lampirkan dalam proses itu, apakah ada bibit plagiat atau tidak.
Tentunya bahan bacaan penilai harus banyak karena tanpa itu, pisau pengawasan
akan tumpul. Termasuk juga membaca jurnal berbahasa Inggris karena bisa terjadi
menjiplak dari sana. Semua pintu yang berpeluang menciptakan plagiarisme harus
ditutup. Dengan seleksi yang ketat, kredibilitas kampus juga terjadi.
Membangun Kultur
Menulis
Solusi mengatasi masalah plagiat sebenarnya sederhana,
maukah kita menuliskan sumber sebenarnya bahan-bahan yang diperoleh. Kemudian,ide-ide
orisinalitas yang kita miliki tetap harus dimunculkan. Bukankah menulis itu
adalah kemahiran dan seni mengelola kemampuan yang dimiliki.
Ini memang soal kemauan dan integritas ketika kita
memutuskan dan memilih profesi menjadi dosen. Seorang dosen pasti memiliki sisi
keunikannya. Ini bisa dilihat dari gaya, mood dalam menulis, kekuatan ekspresi
asli dalam pengungkapan kata demi kata, kemudian muncul dalam karakter dari
masing-masing tulisan yang dihasilkan.
Bakat setiap orang pasti berbeda antara yang satu dengan
lainnya. Komposisi kesemua hal tersebut akan menciptakan sebuah tulisan otentik
yang akan menambah kaya khasanah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, seorang
dosen tidak usah takut untuk menulis, karena orang pasti tahu apakah itu
tulisan kita yang sebenarnya atau bukan.
Yakinlah, golongan kepegawaian
tidak usah dikejar, apalagi dengan cara-cara yang tidak benar. Apabila kultur
menulis telah terbentuk dengan baik, dengan sendirinya struktur akan
menghampiri kita. Menulis itu tidak sulit, yang sulit bila kita tidak mau
memulai. Namun semua
itu tentu harus dibarengi dengan
kejujuran.
Penulis
M. Nafiul
Haris,
Peneliti di El-Wahid Center Universitas Wahid Hasyim Semarang